HUKUM PERIKATAN, HUKUM DAGANG, BENTUK-BENTUK BADAN USAHA




BAB IV

HUKUM PERIKATAN

1.     Pengertian Perikatan
Dalam bahasa Belanda, istilah perikatan dikenal dengan istilah “verbintenis”. Istilah perikatan tersebut lebih umum digunakan dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan diartikan sebagai sesuatu yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Namun, sebagaimana telah dimaklumi bahwa buku III BW tidak hanya mengatur mengenai ”verbintenissenrecht” tetapi terdapat juga istilah lain yaitu ”overeenkomst”.
Dalam berbagai kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menterjemahkan verbintenis dan overeenkomst, yaitu :
1. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Subekti dan Tjiptosudibio menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan persetujuan untuk overeenkomst.
2. Utrecht dalam bukunya Pengantar Dalam Hukum Indonesia memakai istilah Perutangan untuk verbintenis dan perjanjian untuk overeenkomst.
3. Achmad Ichsan dalam bukunya Hukum Perdata IB, menterjemahkan verbintenis dengan perjanjian dan overeenkomst dengan persetujuan.
Untuk menentukan istilah apa yang paling tepat untuk digunakan dalam mengartikan istilah perikatan, maka perlu kiranya mengetahui makna terdalam arti istilah masing-masing. Verbintenis berasal dari kata kerja verbinden yang artinya mengikat. Jadi dalam hal ini istilah verbintenis menunjuk kepada adanya ”ikatan” atau ”hubungan”. maka hal ini dapat dikatakan sesuai dengan definisi verbintenis sebagai suatu hubungan hukum. Atas pertimbangan tersebut di atas maka istilah verbintenis lebih tepat diartikan sebagai istilah perikatan. sedangkan untuk istilah overeenkomst berasal dari dari kata kerja overeenkomen yang artinya ”setuju” atau ”sepakat”. Jadi overeenkomst mengandung kata sepakat sesuai dengan asas konsensualisme yang dianut oleh BW. Oleh karena itu istilah terjemahannya pun harus dapat mencerminkan asas kata sepakat tersebut. Berdasarkan uraian di atas maka istilah overeenkomst lebih tepat digunakan untuk mengartikan istilah persetujuan.

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan.

Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi.

pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.

Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian. Bila ditinjau lebih lanjut dari pengertian perikatan, maka dapat kita ketahui bersama bahwa dalam satu perikatan paling sedikit terdapat satu hak dan satu kewajiban. Suatu persetujuan dapat menimbulkan satu atau beberapa perikatan tergantung dari jenis persetujuannya.

2.     Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

1) Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2) Perikatan yang timbul undang-undang.

Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)

a. Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber – sumber perikatan.

b. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

3.     Azas-azas dalam hukum perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
a)     Asas Kebebasan Berkontrak Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
b)    Asas konsensualisme Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

4.     Hapusnya Perikatan

Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Berikut cara penghapusan suatu perikatan:

1.     Pembaharuan utang (inovatie)

Novasi adalah suatu persetujuan yang menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.

Ada tiga macam novasi yaitu :

1) Novasi obyektif, dimana perikatan yang telah ada diganti dengan perikatan lain.

2) Novasi subyektif pasif, dimana debiturnya diganti oleh debitur lain.

2.     Perjumpaan utang (kompensasi)

Kompensasi adalah salah satu cara hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp. 1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
  • Kedua-duanya berpokok sejumlah uang atau.
  • Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang dapat diganti.
  • Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
3.     Pembebasan utang

Undang-undang tidak memberikan definisi tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur. Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.

Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan. Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.

Dengan pembebasan utang maka perikatan menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan, maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan : (1) pembebasan utang yang diberikan kepada debitur utama, membebaskan para penanggung utang, (2) pembebasan utang yang diberikan kepada penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama, (3) pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.

4.     Musnahnya barang yang terutang

Apabila benda yang menjadi obyek dari suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut. Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.

5.     Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.

Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan. Disebut batal demi hukum karena kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi. 

6.     Syarat yang membatalkan

Yang dimaksud dengan syarat di sini adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada sejak dipenuhinya syarat itu.

7.     Kedaluwarsa

Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam undang-undang, maka perikatan hapus.

Dari ketentuan Pasal tersebut diatas dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :

(1). Lampau waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut

”acquisitive prescription”;

(2). Lampau waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan
Dari tuntutan, disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain yaitu ”kadaluwarsa”.


BAB V

HUKUM PERJANJIAN

1.     Standar Kontrak

Sebagai mahluk sosial manusia selalu berhubungan dengan manusia lainnya. Interaksi yang terjalin dalam komunikasi tersebut tidak hanya berdimensi kemanusiaan dan sosial budaya, namun juga menyangkut aspek hukum, termasuk perdata. Naluri untuk mempertahankan diri, keluarga dan kepentingannya membuat manusia berfikir untuk mengatur hubungan usaha bisnis mereka ke dalamsebuahperjanjian.
Pengertian ini mengundang kritik dari banyak ahli hukum, karena menimbulkan penafsiran bahwa perjanjian tersebut yang bersifat sepihak, padahal dalam perjanjian harus terdapat interaksi aktif yang bersifat timbal balik di kedua belah pihak untuk melaksanakan hak dan kewajiban masing-masing. Untuk itu secara sederhana perjanjian dapat dirumuskan sebagai sebuah perbuatan dimana kedua belah pihak sepakat untuk saling mengikatkan diri satu sama lain.
Kapan sebenarnya perjanjian tersebut timbul dan mengikat para pihak? Menurut Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian harus memenuhi 4 syarat agar dapat memiliki kekuatan hukum dan mengikat para pihak yang membuatnya. Hal tersebut adalah:
1.     Kesepakatan para pihak
2.     Kecakapan untuk membuat perikatan (misal: cukup umur, tidak dibawah pengampuan dll)
3.     Menyangkut hal tertentu
4.     Adanya causa yang halal
Dua hal yang pertama disebut sebagai syarat subyektif dan dua hal yang terakhir disebut syarat objektif. Suatu perjanjian yang mengandung cacat pada syarat subjektif akan memiliki konsekwensi untuk dapat dibatalkan (vernietigbaar). Dengan demikian selama perjanjian yang mengandung cacat subyektif ini belum dibatalkan, maka ia tetap mengikat para pihak layaknya perjanjian yang sah. Sedangkan perjanjian yang memiliki cacat pada syarat obyektif (hal tertentu dan causa yang halal), maka secara tegas dinyatakan sebagai batal demi hukum (J.Satrio, 1992).
2.     Macam-macam perjanjian
Secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengklasifikasikan jenis-jenis perjanjian adalah:
1.     Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak:
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebani hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan kepada pihak lainnya.
2.     Perjanjian Percuma dan Perjanjian dengan Alas Hak Membebani
Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan kepada satu pihak saja. Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra prestasi dari pihak lainnya, sedangkan kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut hukum.
3.     Perjanjian Bernama dan tidak Bernama:
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang terbatas, misalnya jual beli, sewa menyewa. Sedangkan perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
4.     Perjanjian Kebendaan dan Perjanjian Obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hak milik dalam perjanjian jual beli. Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan dari perjanjian obligatoir. Perjanjian obligatoir sendiri adalah perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak timbulnya hak dan kewajiban para pihak.
5.     Perjanjian Konsensual dan Perjanjian Real:
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada perjanjian kehendak antara pihak-pihak. Sedangkan perjanjian real adalah perjanjian disamping ada perjanjian kehendak juga sekaligus harus ada penyerahan nyata atas barang yang diperjanjikan.
3.     Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian

Dalam membuat perjanjian para pihak dapat memuat segala macam perikatan, sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Buku III KUH Perdata, akan tetapi asas kebebasan berkontrak yang bukan berarti boleh memuat perjanjian secara bebas, melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk syahnya perjanjian. Maksud kebebasan berkontrak bebas untuk menentukan isi dan macamnya perjanjian, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUH Perdata). Dengan kata lain, para pihak membuat perjanjian tersebut dalam keadaan bebas dalam arti tetap selalu dalam ruang gerak yang dibenarkan atau sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1320
KUHPerdata yaitu :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu pokok persoalan tertentu;
4. Suatu sebab yang tidak dilarang.
Syarat-syarat diatas terbagi dalam dua kelompok yaitu syarat obyektif dan syarat subjektif, dimana keduanya memiliki akibat hukum masing-masing, untuk lebih jelasnya penjelasan terhadap hal diatas sebagai berikut :

1. Sepakat mereka yang mengikat dirinya
Sepakat mereka mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendak masing-masing, yang dilahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan dan penipuan.
Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul hukum perjanjian menyatakan bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan penawaran (efferte) menerima yang termaksud dalam surat tersebut, sebab detik itulah dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasannya mungkin ia tidak membaca surat itu, hal itu menjadi tanggung jawab sendiri. Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Persoalan kapan lahirnya perjanjian juga sangat penting untuk diketahui dan ditetapkannya, berhubung adakalanya terjadi perubahan dalam peraturan perundang-undangan yang mempunyai pengaruh terhadap pelaksanaan perjanjian, beralihnya risiko dalam perjanjian, tempat lahirnya perjanjian dan ditutupnya perjanjian dan sebagainya. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya.


2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Cakap (bekwaam) merupakat syarat umum untuk dapat melakukan perbuatan hukum secara sah yaitu harus sudah dewasa, sehat pikiran dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu. Dalam sistem hukum perdata barat hanya mereka yang dibawah pengampuan sajalah yang dianggap tidak dapat melakukan perbuatan hukum secara sah, orang-orang yang kurang atau tidak sehat akal pikirannya yang tidak dibawah pengampuan tidak demikian, perbuatan hukum yang dilakukannya tidak dapat dikatan sah kalau hanya di dasarkan pada Pasal 1320 KUHPerdata. Akan tetapi, perbuatan melawan hukum itu dapat dibantah dengan alasan tidak sempurnanya kesepakatan yang diperlukan, juga untuk sahnya perjanjian sebagaimana yang ditentukan Pasal 1320 KUHPerdata. Dilihat dari sudut rasa keadilan memang benar-benar mempunyai kemampuan untuk menginsyafi segala tanggung jawab yang bakal dipikulnya karena perbuatan itu. Tegasnya, syarat kecakapan untuk membuat suatu perjanjian ini mengandung kesadaran untuk melindungi baik bagi dirinya dan bagi miliknya maupun dalam hubungannya dengan keselamatan keluarganya.


3. Suatu hal tertentu
Suatu hak tertentu dalam perjanjian adalah barang yang menjadi obyek suatu perjanjian. Menurut Pasal 1333 KUHPerdata barang yang menjadi obyek suatu perjanjian ini haruslah tertentu, setidaknya haruslah ditentukan jenisnya, sedangkan jumlahnya tidak perlu ditentukan, asalkan saja kemudian dapat ditentukan atau diperhitungkan. Sebelumnya, dalam Pasal 1334 ayat (1) KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari juga dapat menjadi objek suatu perjanjian.  Menurut Wirdjono Prodjodikoro, barang yang belum ada dijadikan objek perjanjian tersebut bisa dalam pengertian relatif (nisbi). Belum ada pengertian mutlak misalnya, perjanjian jual beli padi dimana tanamannya baru sedang berbunga, sedangkan belum ada pengertian relatif, misalnya perjanjian jual beli yang diperjual belikan sudah berwujud beras, pada saat perjanjian diadakan masih milik penjual.  Kemudian dalam Pasal 1332 KUHPerdata ditentukan bahwa barang-barang yang dapat dijadikan objek perjanjian hanyalah barangbarang yang dapat diperdagangkan. Lazimnya barang-barang yang diperdagangkan untuk kepentingan umum dianggap sebagai barang barang diluar perdagangan, sehingga tidak bisa dijadikan objek perjanjian.


4. Suatu sebab yang halal
Suatu sebab yang halal merupakan syarat yang keempat untuk sahnya perjanjian. Mengenai syarat ini Pasal 1335 BW menyatakan bahwa suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat-syarat subjektif karena mengenai subjek karena yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat 3 dan 4 dinamakan syarat-syarat objektif karena mengenai objek perjanjian. Apabila syarat-syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjiannya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap atau yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Hak untuk meminta pembatalan perjanjian ini dibatasi dalam waktu 5 tahun (Pasal 1454 BW). Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut tetap mengikat. Sedangkan apabila syarat-syarat objektif yang tidak dipenuhi, perjanjiannya batal demi hukum. Artinya dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada perikatan. Sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim (pengadilan).


4.     Pembatalan suatu perjanjian
Suatu perjanjian dapat di batalkan oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian ataupun batal demi hukum. Perjanjian yang di batalkan oleh salah satu pihak biasanya terjadi karena:
1.     Adanya suatu pelanggaran dan pelanggaran tersebut tidak di perbaiki dalam jangka  waktu yang ditentukan atau tidak dapat diperbaiki.
2.     Pihak pertama melihat adanya kemungkinan pihak kedua mengalami kebangkrutan atau secara financial tidak dapat memenuhi kewajibannya.
3.     Terkait resolusi atau perintah pengadilan.
4.     Terlibat hukum.
5.     Tidak lagi memiliki lisensi, kecakapan, atau wewenang dalam melaksanakan
perjanjian.

5.     Prestasi dan Wanprestasi dalam Perjanjian
Prestasi adalah suatu yang wajib harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan. Prestasi merupakan isi dari pada sebuah perikatan. Apablia debitur tidak memenuhi prestasi sebagaimana yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka ia dikatakan wanprestasi (kelalaian).
Wanprestasi adalah tidak memenuhi kewajiban sebagaimana diterapkan perikatan atau perjanjian, tidak dipenuhinya kewajiban dalam suatu perjanjian, dapat disebabkan dua hal, yaitu kesalahan debitur baik disengaja maupun karena kelalaian dan karena keadaan memaksa (Overmacht/Force Majure).
Berdasarkan KUHPerdata, wanprestasi diatur dalam Pasal 1243 KUHPerdata yang menjelaskan:
Penggantian biaya, rugi dan bunga tidak dipenuhinya suatu perkataan, barulah mulai diwajibkan, apabila yang berutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukan. Dalam praktek dilapangan, untuk menentukan seorang debitur melakukan wanprestasi terkadang tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu mudah, karena kapan debitur harus memenuhi prestasi tidak selalu ditentukan dalam perjanjian. Dalam perjanjian jual beli suatu barang misalnya tidak ditetapkan kapan penjual harus menyerahkan barang yang harus dijualnya pada pembeli dan kapan pembeli harus membayar yang dibelinya itu kepada penjual. Seorang debitur baru dikatakan wanprestasi apabila ia telah diberikan somasi oleh kreditur atau juru sita. Pengertian somasi adalah teguran dari si berpiutang (kreditur) kepada si berutang (debitur) agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Tentang cara memberi teguran (sommatie) terhadap debitur jika ia tidak memenuhi teguran itu dapat dikatakan wanprestasi, diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata yang menentukan, bahwa teguran itu harus dengan surat perintah atau akta sejenis. Wanprestasi akibat tidak dipenuhinya kewajiban oleh debitur disebabkan oleh dua kemungkinan alasannya, yaitu :

a. Karena kesalahan debitur, baik dengan sengaja tidak dipenuhi kewajiban maupun karena kelalaian;
b. Karena keadaan memaksa (overmacht) force majure, jadi diluar kemampuan debitur.
Untuk menentukan apakah seorang debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi, perlu ditentukan  keadaan bagaimana debitur dikatakan sengaja atau lalai tidak memenuhi prestasi, yaitu ada 3 macam :

1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;
Sehubungan dengan debitur yang tidak memenuhi prestasinya maka dikatakan debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali.

2. Memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu;
Apabila prestasi debitur masih dapat diharapkan pemenuhannya, maka debitur dianggap memenuhi prestasi tetapi tidak tepat waktu.

3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau keliru;
Debitur yang memenuhi prestasi tapi keliru, apabila prestasi yang keliru tersebut tidak dapat diperbaiki lagi maka debitur dikatakan tidak memenuhi prestasi sama sekali.

Menurut Subekti, bentuk wanprestasi ada empat macam yaitu :
1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2.  Melaksanakan apa yang dijanjikannya tetapi tidak sebagaimana dijanjikannya;
3. Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Tindakan wanprestasi membawa konsekuensi  terhadap timbulnya hak pihak yang dirugikan untuk menuntut pihak yang melakukan wanprestasi untuk memberikan ganti rugi, sehingga oleh hukum diharapkan agar tidak ada salah satu pihak yang dirugikan karena wanprestasi tersebut. Di dalam hukum perjanjian tidak membedakan suatu perjanjian tidak dilaksanakan karena unsur kesalahan dari para pihak atau tidak. Akibat hukumnya tetap sama, yakni memberikan ganti rugi dengan perhitungan-perhitungan tertentu. Apabila debitur dalam keadaan wanprestasi, kreditur dapat memelih diantara beberapa kemungkinan tuntutan sebagaimana disebut dalam Pasal 1267 KUHPerdata yaitu :
a. Pemenuhan prestasi;
b. Ganti kerugian;
c. Pemenuhan prestasi ditambah ganti rugi;
d. Pembatalan perjanjian;
e. Pembatalan perjanjian ditambah ganti rugi.
Bilamana kreditur hanya menuntut ganti kerugian, ia dianggap telah melepaskan haknya untuk meminta pemenuhan dan pembatalan pejanjian. Sedangkan bila kreditur hanya menuntut pemenuhan perikatan memang sudah dari semula menjadi kesanggupan debitur untuk melaksanakannya.

Menurut Subekti yang menjadi persoalan disini adalah, seandainya debitur telah menerima teguran agar melaksanakan perjanjian, tetapi setelah waktu yang pantas diberikan keadaannya untuk memenuhi perikatan tersebut telah lewat, tetapi prestasi belum juga dipenuhi, apakah debitur setelah itu masih berhak melaksanakan perikatan. Para ahli hukum dalam hal ini sepakat bahwa apabila kreditur menyatakan masih bersedia menerima pelaksanaan perjanjian. Apabila pernyataan kesediaan menerima pelaksanaan perjanjian. Apabila pernyataan menerima pelaksanaan perjanjian itu tidak ada, para ahli hukum mempunyai pendapat  berbeda, apakah debitur dapat melaksanakan perikatan itu dan dengan membayar ganti rugi, sebelum ada tuntutan kreditur dimuka pengadilan untuk membatalkan perjanjian dengan ganti rugi. Saat terjadinya wanprestasi adalah :

a. Apabila pemenuhan prestasi ditentukan, debitur dikatakan wanprestasi dengan lewatnya waktu (Pasal 1238 KUHPerdata).

b. Apabila waktu pemenuhan prestasi tidak ditentukan, diperlukan pernyataan lalai atau ingerbrekestelling atau somasi dari kreditur, baik dengan surat peringatan kepada debitur ataupun surat gugatan ke pengadilan.


BAB VI
HUKUM DAGANG


Hubungan Hukum Perdata dengan Hukum Dagang
Hukum dagang adalah aturan-aturan hukum yang mengatur hubungan orang yang satudan lainnya dalam bidang perniagaan. Hukum dagang adalah hukum perdata khusus, KUHPerdata merupakan lex generalis (hukum umum), sedangkan KUHD merupakan lex specialis(hukum khusus). Dalam hubungannya dengan hal tersebut berlaku adagium lex specialisderogate lex generalis (hukum khusus mengesampingkan hukum umum). Khusus untuk bidang perdagangan,

Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPerdata, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPerdata.KUHD lahir bersama KUH Perdata yaitu tahun 1847 di Negara Belanda, berdasarkan asas konkordansi juga diberlakukan di Hindia Belanda. Setelah Indonesia merdeka berdasarkan ketentuan pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 kedua kitab tersebut berlaku di Indonesia. KUHD terdiri atas 2 buku, buku I berjudul perdagangan pada umumnya, buku II berjudul Hak dan Kewajiban yang timbul karena perhubungan kapal.

Materi-materi hukum dagang dalam beberapa bagian telah diatur dalam KUH Perdata yaitu tentang Perikatan, seperti jual-beli,sewa-menyewa, pinjam-meminjam. Secara khususmateri hukum dagang yang belum atau tidak diatur dalam KUHD dan KUH Perdata, ternyata dapat ditemukan dalam berbagai peraturan khusus yang belum dikodifikasi seperti tentangkoperasi, perusahaan negara, hak cipta dll.Hubungan antara KUHD dengan KUH perdata adalah sangat erat, hal ini dapatdimengerti karena memang semula kedua hukum tersebut terdapat dalam satu kodifikasi.Pemisahan keduanya hanyalah karena perkembangan hukum dagang itu sendiri dalam mengatur pergaulan internasional dalam hal perniagaan.Hukum Dagang merupakan bagian dari Hukum Perdata, atau dengan kata lain Hukum Dagang merupakan perluasan dari Hukum Perdata. Untuk itu berlangsung asas Lex Specialis dan Lex Generalis, yang artinya ketentuan atau hukum khusus dapat mengesampingkan ketentuan atau hukum umum. KUHPerdata (KUHS) dapat juga dipergunakan dalam hal yang diatur dalamKUHDagang sepanjang KUHD tidak mengaturnya secara khusus.


Kewajiban Pengusaha
Menurut undang-undang, pengusaha dalam menjalankan perusahaan mempunyai dua kewajiban yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Membuat pembukuan Kewajiban membuat pembukuan terdapat dalam Pasal 6 KUHD, yang berbunyi: “Setiap orang yang menjalankan perusahaan diwajibkan untuk menyelenggarakan catatan-catatan menurut syarat-syarat perusahaannya tentang keadaan hartanya dan tentang apa yang berhubungan dengan perusahaannya, dengan cara yang sedemikian sehingga dari catatan-catatan yang diselenggarakan itu sewaktu-waktu dapat diketahui semua hak dan kewajibannya. Tujuan dari pembukuan adalah agar setiap suatu dapat diketahui, baik oleh pengusaha sendiri atau oleh pihak ketiga tentang berapa kekayaannya yang seharusnya, tentang hak dan kewajibannya yang harus dikerjakan dengan pihak lain, sebagaimana dalam Pasal 6 Ayat 1. Kewajiban ini erat hubungannya dengan beberapa hal, antara lain:
a. Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata, yaitu berkenaan dengan harta debitur baik yang bergerak dan tetap, baik yang telah ada maupun masih akan diperoleh, yang dimana semua harta tersebut menjadi tanggungan bagi hutang-hutangnya.

b. Pasal 19 dari Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang menyatakan bahwa “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan si berhutang pada saat pernyataan pailit, beserta segala apa yang diperoleh selama kepailitan.”
Pengusaha dan Perantara Dagang Sebenarnya dalam KUHD sendiri, yaitu dalam Pasal 6 KUHD, istilah pembukuan tidak dipergunakan. Akan tetapi, menggunakan istilah “catatan”. Bagaimana cara membuat dan isi, bentuk dari catatancatatan ini KUHD tidak mengaturnya.Yang terpenting adalah dari catatan ini dapat diketahui kekayaan, hak dan kewajibannya. Namun, dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 8 tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan, yang dimaksud dokumen perusahaan adalah:
a. Dokumen keuangan Terdiri dari catatan, bukti pembukuan, dan data administrasi keuangan yang merupakan bukti adanya hak dan kewajiban serta kegiatan usaha suatu perusahaan
b. Dokumen lainnya Terdiri dari data atau setiap tulisan yang berisi keterangan yang mempunyai nilai guna bagi perusahaan, meskipun tidak terkait langsung dengan dokumen keuangan. Selanjutnya, Pasal 6 Ayat (2) KUHD menyebutkan: “Ia diwajibkan dalam enam bulan pertama dari tiap-tiap tahun untuk membuat neraca yang diatur menurut syarat-syarat perusahaannya dan menandatanganinya sendiri.” Dengan demikian, maka pengusaha wajib dua kali dari tahun ke tahun dalam waktu 6 bulan yang pertama, dari tiap-tiap tahunnya membuat dan menandatangani dengan tangan sendiri akan neraca tersusun sesuai dengan kebutuhan perusahaan itu. Sedangkan tentang pengertian neraca, Polak menjelaskan bahwa neraca ialah daftar yang berisi, antara lain tentang:
a. Seluruh harta kekayaan beserta harganya dari masing-masing benda.
b. Segala hutang-hutang dan saldonya Selanjutnya dalam pasal 6 ayat (3) disebutkan: “Ia diwajibkan menyimpan selama tiga puluh tahun, buku-buku dan surat-surat di mana ia menyelenggarakan catatan-catatan dimaksud dalam alinea pertama beserta neracanya, dan selama sepuluh tahun, surat-surat dan telegramtelegram yang diterima dan salinan-salinan surat-surat dan telegramtelegram yang dikeluarkan”. Ketentuan ini berhubungan dengan pasal 1967 KUH Perdata yang menyebutkan “segala tuntutan hukum, baik bersifat kebendaan maupun
Pengusaha dan Perantara Dagang bersifat perseorangan, hapus karena kadaluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun”. Kewajiban penyimpanan buku-buku atau surat-surat  juga berkaitan erat fungsi pembukuan, yaitu segala alat pembuktian kalau ada sengketa dipengadilan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 KUHD yang berbunyi: “Untuk kepentingan setiap orang, hakim bebas untuk memberikan kepada pemegang buku, kekuatan bukti sedemikian rupa yang menurut pendapatnya harus diberikan pada masing-masing kejadian yang khusus.” Namun ada beberapa hal yang menyulitkan dari kewajiban pembukuan dalam Pasal 6-13 KUHD ini, di antaranya adalah:
a. Ketentuan Pasal 1881 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa alat bukti surat yang ditulisnya sendiri tidak memberikan pembuktian bagi keuntungan si pembuatnya.”
b. Rusaknya buku-buku atau surat-surat, karena lamanya masa penyimpanan.
c. Biaya yang besar, karena harus disediakan tempat penyimpanan yang luas serta pemeliharaan agar tidak rusak.


2. Mendaftarkan Perusahaan Dengan adanya Undang-Undang No. 3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan maka setiap orang atau badan yang menjalankan perusahaan menurut hukum wajib untuk melakukan pendaftaran tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan usahanya sejak tanggal 1 Juni 1985. Dalam Undang-Undang No.3 tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, yang dimaksud daftar perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan menurut atau berdasarkan ketentuan undangundang ini atau peraturan pelaksanaannya, memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan, dan disahkan oleh pejabat yang berwenang dari kantor pendaftaran perusahaan.
Hubungan Pengusaha Dan Pembantunya
Pengusaha adalah seseorang yang melakukan atau menyuruh melakukan perusahaannya. Dalam menjalankan perusahannya pengusaha dapat:

a. Melakukan sendiri, Bentuk perusahaannya sangat sederhana dan semua pekerjaan dilakukan sendiri, merupakan perusahaan perseorangan.


b. Dibantu oleh orang lain, Pengusaha turut serta dalam melakukan perusahaan, jadi dia mempunyai dua kedudukan yaitu sebagai pengusaha dan pemimpin perusahaan dan merupakan perusahaan besar.


c. Menyuruh orang lain melakukan usaha sedangkan dia tidak ikut serta dalam melakukan perusahaan, Hanya memiliki satu kedudukan sebagai seorang pengusaha dan merupakan perusahaan besar.


Sebuah perusahaan dapat dikerjakan oleh seseorang pengusaha atau beberapa orang pengusaha dalam bentuk kerjasama. Dalam menjalankan perusahaannya seorang pengusaha dapat bekerja sendirian atau dapat dibantu oleh orang-orang lain disebut “pembantu-pembantu perusahaan”. Orang-orang perantara ini dapat dibagi dalam dua golongan. Golongan pertama terdiri dari orang-orang yang sebenarnya hanya buruh atau pekerja saja dalam pengertian BW dan lazimnya juga dinamakan handels-bedienden. Dalam golongan ini termasuk, misal pelayan, pemegang buku, kassier, procuratie houder dan sebagainya. Golongan kedua terdiri dari orang-orang yang tidak dapat dikatakan bekerja pada seorang majikan, tetapi dapat dipandang sebagai seorang lasthebber dalam pengertian BW. Dalam golongan ini termasuk makelar, komissioner.
Namun, di dalam menjalankan kegiatan suatu perusahaan yang dipimpin oleh seorang pengusaha tidak mungkin melakukan usahanya seorang diri, apalagi jika perusahaan tersebut dalam skala besar. Oleh karena itu diperlukan bantuan orang/pihak lain untuk membantu melakukan kegiatan-kegiatan usaha tersebut.
Pembantu-pembantu dalam perusahaan dapat dibagi menjadi 2 fungsi :

1. Membantu didalam perusahaan
2.. Membantu diluar perusahaan


1. Adapun pembantu-pembantu dalam perusahaan antara lain:
a) Pelayan toko adalah semua pelayan yang membantu pengusaha dalam menjalankan perusahaannya di toko, misalnya pelayan penjual, pelayan penerima uang (kasir), pelayan pembukuan, pelayan penyerah barang dan lain-lain.


b)Pekerja keliling ialah pembantu pengusaha yang bekerja keliling diluar kantor untuk memperluas dan memperbanyak perjanjian-perjanjian jual beli antara majikan (pengusaha)dan pihak ketiga.

c) Pengurus filial ialah petugas yang mewakili pengusaha mengenai semua hal, tetapi terbatas pada satu cabang perusahaan atau satu daerah tertentu.

d) Pemegang prokurasi ialah pemegang kuasa dari perusahaan. Dia adalah wakil pimpinan perusahaan atau wakil manager, dan dapat mempunyai kedudukan sebagai kepala satu bagian besar dari perusahaan itu. Ia juga dapat dipandang berkuasa untuk beberapa tindakan yang timbul dari perusahaan itu, seperti mewakili perusahaan itu di muka hakim, meminjam uang, menarik dan mengakseptir surat wesel, mewakili pengusaha dalam hal menandatanganu perjanjian dagang, dan lain-lain.

e) Pimpinan perusahaan ialah pemegang kuasa pertama dari pengusaha perusahaan. Dia adalah yang mengemudikan seluruh perusahaan. Dia adalah yang bertanggung jawab tentang maju dan mundurnya perusahaan. Dia bertanggung jawab penuh atas kemajuan dan kemunduran perusahaan. Pada perusahaan besar, pemimpin perusahaan berbentuk dewan pimpinan yang disebut Direksi yang diketuai oleh seorang Direktur Utama.

Hubungan hukum antara pimpinan perusahaan dengan pengusaha bersifat :
(1) Hubungan perburuhan, yaitu hubungan yang subordinasi antara majikan dan buruh, yang memerintah dan yang diperintah. Manager mengikatkan dirinya untuk menjalankan perusahaan dengan sebaik-baiknya, sedangkan pengusaha mengikatkan diri untuk membayar upahnya (pasal 1601 a KUHPER).


(2) Hubungan pemberian kekuasaan, yaitu hubungan hukum yang diatur dalam pasal 1792 dsl KUHPER yang menetapkan sebagai berikut ”pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya untuk atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan”. Pengusaha merupakan pemberi kuasa, sedangkan si manager merupakan pemegang kuasa. Pemegang kuasa mengikatkan diri untuk melaksakan perintah si pemberi kuasa, sedangkan si pemberi kuasa mengikatkan diri untuk memberi upah sesuai dengan perjanjian yang bersangkutan.
Dua sifat hukum tersebut di atas tidak hanya berlaku bagi pimpinan perusahaan dan pengusaha, tetapi juga berlaku bagi semua pembantu pengusaha dalam perusahaan, yakni: pemegang prokurasi, pengurus filial, pekerja keliling dan pelayan toko. Karena hubungan hukum tersebut bersifat campuran, maka berlaku pasal 160 c KUHPER, yang menentukan bahwa segala peraturan mengenai pemberian kuasa dan mengenai perburuhan berlaku padanya. Kalau ada perselisihan antara kedua peraturan itu, maka berlaku peraturan mengenai perjanjian perburuhan (pasal 1601 c ayat (1) KUHPER.

2. Adapun pembantu-pembantu luar perusahaan antara lain:

a) Agen perusahaan
Agen perusahaan adalah orang yang melayani beberapa pengusaha sebagai perantara pihak ketiga. Orang ini mempunyai hubungan tetap dengan pengusaha dan mewakilinya untuk mengadakan dan selanjutnya melaksanakan perjanjian dengan pihak ketiga.


b) Perusahaan perbankan
Perusahaan perbankan adalah lembaga keuangan yang mewakili pengusaha untuk melakukan :
 Pembayaran kepada pihak ketiga;
 Penerimaan uang dari pihak ketiga; dan
 Penyimpanan uang milik pengusaha selaku nasabah.


c) Pengacara
Pengacara ialah orang yang mewakili pengusaha ini dalam berperkara di muka hakim. Dalam mewakili pengusa ini pengacara tidak hanya terbatas dimuka hakim saja, juga mengenai segala persoalan hukum di luar hakim. Hubungan antara pengacara dengan pengusaha adalah hubungan tidak tetap, sedang sifat hukumnya berbentuk pelayanan berkala dan pemberian keputusan.


d) Notaris
Seorang notaris dapat membantu pengusaha dalam membuat perjanjian dengan pihak ketiga. Hubungan notaris dengan pengusaha bersifat tidak tetap, sebagai juga halnya dengan pegacara hubungan hukumnya bersifat pelayan berkala dan pemberian kekuasaan. Notaris adalah pejabat umum, khusus berwenang untuk membuat akte mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan, yang dipertahkan oleh peraturan umum atau yang diinginkan oleh yang berkepentingan, agar dapat ternyata pada akta otentik itu tentang kepastian tanggal, menyimpan akta dan menerbitkan grossen, turunan dan kutipan, semua itu bila pembuatan akta itu oleh peraturan umum tidak dibebankan atau dijadikan kepada pejabat atau orang lain.


e) Makelar
Menurut pengertian Undang-undang, seorang makelar pada pokoknya adalah seorang perantara yang menghubungkan pengusaha dengan pihak ke tiga untuk mengadakan berbagai perjanjian. Makelar mempunyai ciri khusus, yaitu:
(1) Makelar harus mendapat pengangkatan resmi dari pemerintah (c.q. Mentri Kehakiman) – (pasal 62 ayat (1))
(2) Sebelum menjalankan tugasnya, makelar harus bersumpah di muka Ketua Pengadilan Negeri, bahwa dia akan menjalankan kewajibannyadengan baik (pasal 62 ayat (1))
Mengenai makelar diatur dalam KUHD, buku 1, pasal 62 sampai 72, dan menurut pasal 62 ayat (1) makelar mendapat upahnya yang disebut provisi atau courtage. Sebagai perantara atau pembantu pengusaha, makelar mempunyai hubungan yang tidak tetap dengan pengusaha (pasal 62 ayat (1)). Hubungan ini tidak sama halnya dengan pengacara, tetapi lain dengan hubungan antara agen perusahaan dengan pengusaha. Adapun sifat hukum dari hubungan tersebut adalah campuran yaitu sebagai pelayan berkala dan pemberian kuasa.


f) Komisioner
Mengenai komisioner diatur dalam pasal 76 sampai dengan pasal 85 KUHD. Dalam pasal 76 KUHD dirumuskan, bahwa komisioner adalah seorang yang menyelenggarakan perusahaannya dengan melakukan perbuatan-perbuatan menutup persetujuan atas nama firma dia sendiri, tetapi atas amanat dan taggungan orang lain dan dengan menerima upah atau provisi (komisi) tertentu.



Perseroan Terbatas Perseroan Terbatas ( PT )
Adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian untuk menjalankan usaha yang  modalnya terdiri dari saham-saham, yang pemiliknya memiliki bagian sebanyak saham yang dimilikinya. Kekayaan perusahaan terpisah dari kekayaan pribadi pemilik perusahaan sehingga memiliki harta kekayaan sendiri. Pemilik saham akan memperoleh bagian keuntungan yang disebut dividen. Selain berasal dari saham, modal PT dapat pula berasal dari obligasi. Keuntungan yang diperoleh para pemilik obligasi adalah mereka mendapatkan bunga tetap tanpa menghiraukan untung atau ruginya perseroan terbatas tersebut. Pembagian Wewenang Dalam PT Pengelolaan perusahaan dapat diserahkan kepada tenaga-tenaga ahli dalam bidangnya (profesional). Struktur organisasi perseroan terbatas terdiri dari pemegang saham, direksi, dan komisaris. Pemegang saham  melimpahkan wewenangnya kepada direksi untuk menjalankan dan mengembangkan perusahaan sesuai dengan tujuan dan bidang usaha perusahaan.  Direksi berwenang untuk mewakili perusahaan, mengadakan perjanjian dan kontrak, dan sebagainya. Komisaris memiliki fungsi sebagai pengawas kinerja jajaran direksi perusahaan. Hasil RUPS biasanya dilimpahkan ke komisaris untuk diteruskan ke direksi untuk dijalankan. Bila pemegang saham berhalangan hadir dalam RUPS , dia bisa melempar suara miliknya ke pemegang lain yang disebut proxy. Isi RUPS adalah:
a)     Menentukan direksi dan pengangkatan komisaris
b)    Memberhentikan direksi atau komisaris
c)     Menetapkan besar gaji direksi dan komisaris
d)    Mengevaluasi kinerja perusahaan
e)     Memutuskan rencana penambahan/pengurangan saham perusahaan
f)      Menentukan kebijakan perusahaan
g)     Mengumumkan pembagian laba (dividen)

Kelebihan PT
a)     Kelangsungan hidup perusahan terjamin
b)    Terbatasnya tanggung jawab, sehingga tidak menimbulkan risiko bagi kekayaan pribadi maupun kekayaan keluarga pemilik.
c)     Saham dapat diperjualbelikan dengan relative mudah.
d)    Kebutuhan capital lebih besar akan mudah dipenuhi, sehingga memungkinkan perluasan-perluasan usaha.
e)     Pengelolaan perusahaan dapat dilakukan lebih efisien.

Kelemahan PT
a)     Biaya pendiriannya relatif mahal.
b)    Rahasianya tidak terjamin.
c)     Kurangnya hubungan yang efektif antara pemegang saham.
d)    Permasalahan administrasi yang rumit.
e)     Pengenaan pajak berganda.
f)      Adanya inefisiensi kerja, tidak fleksibel dan tidak kompetitif karena ukuran yang besar.
g)     Kesulitan untuk membubarkan diri.
h)    Adanya kemungkinan akan muncul konflik antara pemegang saham  dengan dewan direksi.


Koperasi
Koperasi adalah  jenis badan usaha yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum. Anggota koperasi yaitu:
a)     Perorangan, yaitu orang yang secara sukarela menjadi anggota koperasi
b)    Badan hukum  koperasi, yaitu suatu koperasi yang menjadi anggota koperasi yang memiliki lingkup lebih luas.
Fungsi dan peran Koperasi Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa fungsi dan peran koperasi sebagai berikut:
a)     Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.
b)    Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
c)     Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko-gurunya.
d)    Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional, yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.

Prinsip koperasi menurut UU No. 25 tahun 1992 Pasal 5, yaitu:
a)     Keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka.
b)    Pengelolaan dilakukan secara demokratis.
c)     Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota (andil anggota tersebut dalam koperasi).
d)    Pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal
e)     Kemandirian.
f)      Pendidikan perkoprasian.
g)     kerjasama antar koperasi.

Jenis - jenis koperasi
a)     Koperasi Simpan Pinjam adalah koperasi yang bergerak di bidang simpanan dan pinjaman
b)    Koperasi Konsumen adalah koperasi beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatannya jual beli menjual barang konsumsi.
c)     Koperasi Produsen adalah koperasi beranggotakan para pengusaha kecil menengah(UKM) dengan menjalankan kegiatan pengadaan bahan baku dan penolong untuk anggotanya.
d)    Koperasi Pemasaran adalah koperasi yang menjalankan kegiatan penjualan produk/jasa koperasinya atau anggotanya.
e)     Koperasi Jasa adalah koperasi yang bergerak di bidang usaha jasa lainnya.


Yayasan
Yayasan adalah organisasi nonprofit. Yaitu organisasi yang berbentuk korporasi untuk memberikan pelayanan kepad masyarakat. Yayasan didirikan dengan tujuan sosial, bukan untuk mencari keuntungan. Kekayaan yayasan terpisah darikekayaan anggotanya. Dana operasional diperoleh dari sumbangan para donator.

Pengertian BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
Berdasarkan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2003, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung, modal tersebut berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. BUMN merupakan salah satu instrumen penting dalam menjalankan dan mengembangkan perekonomian nasional. BUMN bersama-sama dengan pelaku ekonomi lain seperti swasta (kecil – besar, domestik – asing) dan koperasi merupakan bentuk bangun demokrasi yang akan terus dikembangkan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam BUMN, Pemerintah berperan sebagai pemegang saham (minimal 51% sahamnya harus dipegang oleh pemerintah), masyarakat juga berperan sebagai pemegang saham (maksimal 49% saham dapat dipegang oleh masyarakat).
Fungsi BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
a)     Sebagai penyedia barang ekonomis yang tidak disediakan oleh pihak swasta
b)    Instrumen pemerintahan yang membantu penataan perekonomian negara
c)     Pengelola cabang-cabang produksi sumberdaya yang dimanfaatkan untuk kepentingan umum
d)    Menyediakan layanan untuk masyarakat
e)     Memajukan sektor usaha yang belum diminati oleh pihak swasta
f)      Pembuka lapangan kerja
g)     Penghasil devisa negara
h)    Membantu pengembangan usaha kecil (contohnya koperasi)
i)       Pendorong aktivitas dan kemajuan masyarakat di berbagai bidang

Tujuan didirikannya BUMN (Badan Usaha Milik Negara)
a)       Memberikan sumbangan pendapatan (penerimaan) negara dan berperan dalam memajukan perekonomian.
b)       Mendapatkan keuntungan demi kepentingan negara.
c)       Menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan kebutuhan hidup orang banyak.
d)       Perintis kegiatan usaha yang belum dapat dilaksanakan oleh pihak swasta dan koperasi.
e)       Memberikan bimbingan dan batuan kepada pengusaha golongan ekonomi lemah, koperasi, dan masyarakat.






Referensi:



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perlindungan Konsumen, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Penyelesaian Sengketa

TASK 1

Promoting a New Product