Perlindungan Konsumen, Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, Penyelesaian Sengketa
BAB 12
Perlindungan Konsumen
A. Pengertian Perlindungan Konsumen
Pengertian tentang konsumen secara yuridis
telah diletakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan, seperti UU No 8
Tahun 1999 Tentang UUPK pasal 1 merumuskan sebagai berikut: “Konsumen adalah
setiap orang pemakai barang dan / atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.”
Pengertian konsumen secara otentik telah
dirumuskan di dalam Undang- undang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 2
undang-undang No. 8 Tahun 1999. Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan
perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum
untuk memberikan perlindungan kepada konsumen.
Perintis adanya hukum perlindungan konsumen
di Indonesia adalah Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang didirikan
pada 11 Mei 1973. YLKI bersama dengan BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional)
membentuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada tahun 1990.
Rancangan hukum perlindungan konsumen juga didukung oleh Departemen Perdagangan
atas desakan lembaga keuangan internasional (IMF/International Monetary Fund)
sehingga lahirlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000 (Nasution, 1995:72).
B. Asas-Asas dan Tujuan Perlindungan Konsumen
Menurut ketentuan yang terdapat dalam
pengaturan dalam perlindungan konsumen ada lima asas perlindungan konsumen yang
ditetapkan UUPK (Pasal2) yaitu
“Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan
keselamatan konsumen, serta kepastian hukum”
Asas-asas tersebut meliputi yakni:
1. Asas
manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi kepentingan
konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan
2. Asas
keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara
maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.
3. Asas
keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan
konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materil dan sprititual.
4. Asas
keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
5. Asas
kepastian hukum dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum
dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen serta
Negara menjamin kepastian hukum.
Tujuan yang ingin dicapai melalui UUPK ini
sebagaimana disebut dalam pasal 3 adalah:
a) meningkatkan
kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri;
b) mengangkat
harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif
pemakaian barang dan/atau jasa;
c) meningkatkan
pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya
sebagai konsumen.
d) menciptakan
sistem perlindungan konsumen yang mengandung undur kepastian hukum dan
keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi;
e) menumbuhkan
kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga
tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha;
f) meningkatkan
kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang
dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.
C. Hak dan Kewajiban dari
Konsumen
Instrumen peraturan nasional yang mengatur
mengenai hak dan kewajiban konsumen ialah UUPK. Adapun hak-hak konsumen diatur
UUPK pasal 4, sebagai berikut:
a. hak
atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengonsumsi barangdan/atau
jasa;
b. hak
untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar
dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c. hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa;
d. hak
untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang
digunakan;
e. hak
untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa
perlindungan konsumen secara patut;
f. hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g. hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak
diskriminatif;
h. hak
untuk mendapatkan kompensai, ganti rugi, dan/atau penggantian, apabila barang
dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya;
i. hak-hak
yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun mengenai kewajiban konsumen dijelaskan
dalam pasal 5 UUPK,yakni :
a) membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
b) beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c) membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
d) mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
D. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 6 UUPK mengatur mengenai hak-hak dari
pelaku usaha, yaitu:
1) Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan
nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
2) Hak
untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak
baik;
3) Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian sengketa
konsumen;
4) Hak
untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian
konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan.
Kewajiban Pelaku Usaha
Pasal 7 UUPK mengatur mengenai kewajiban dari
pelaku usaha antara lain:
1) Beritikad
baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
2) Memberikan
informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/atau jasa serta memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan;
3) Memperlakukan
atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
4) Menjamin
mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan
ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
5) Memberi
kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa
tertentu serta memberikan jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat
dan/atau yang diperdagangkan;
6) Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan,
pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
7) Memberi
kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
E. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Pasal 8
1. Pelaku
usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:
a. tidak
memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. tidak
sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan
sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;
c. tidak
sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut
ukuran yang sebenarnya;
d. tidak
sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana
dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut,
e. tidak
sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau
penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang
dan/atau jasa tersebut;
f. tidak
sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau
promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;
g. tidak
mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang
paling baik atas barang tersebut;
h. tidak
mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal”
yang dicantumkan dalam label;
i. tidak
memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran,
berat / isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan,
akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk
penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat;
j. tidak
mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa
Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan barang yang, rusak, cacat atau bekas, dan
tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang
dimaksud.
3. Pelaku
usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat
atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa rnemberikan informasi secara lengkap
dan benar.
4. Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat 1 dan ayat 2 dilarang
memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari
peredaran.
Pasal 9
1. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah:
a. barang
tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar
mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau
guna tertentu;
b. barang
tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru;
c. barang
dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor persetujuan,
perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori
tertentu;
d. barang
dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor,
persetujuan atau afiliasi;
e. barang
dan/atau jasa tersebut tersedia;
f. barang
tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;
g. barang
tersebut rnerupakan kelengkapan dari barang tertentu;
h. barang
tersebut berasal dari daerah tertentu;
i. secara
langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain;
j. menggunakan
kata-kata yang berlebihan, seperti aman tidak berbahaya, tidak mengandung
risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap;
k. menawarkan
sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
2. Barang
dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilarang untuk diperdagangkan.
3. Pelaku
usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat 1 dilarang melanjutkan
penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut.
Pasal 10
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan,
mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan
mengenai:
a. harga
atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
b. kegunaan
suatu barang dan/atau jasa;
c. kondisi,
tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
d. tawaran
potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
e. bahwa
penggunaan barang dan/atau jasa.
Pasal 11
Pelaku usaha dalam hal penjualan yang
dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan
konsumen dengan:
a. menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu;
b. menyatakan
barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi;
c. tidak
berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk
menjual barang lain;
d. tidak
menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan
maksud menjual barang yang lain;
e. tidak
menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud
menjual jasa yang lain;
f. menaikkan
harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.
Pasal 12
Pelaku usaha dilarang menawarkan,
mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau
tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak
bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan,
dipromosikan, atau diiklankan.
Pasal 13
1. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang
dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau
jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan
tidak sebagaimana yang dijanjikannya.
2. Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan
dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain.
Pasal 14
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa yang, ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara
undian, dilarang untuk:
a. tidak
melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan;
b. mengumumkan
hasilnya tidak melalui media masa;
c. memberikan
hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan;
d. mengganti
hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan;
Pasal 15
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat
menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen.
Pasal 16
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau
jasa melalui pesanan dilarang untuk:
a. tidak
menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang
dijanjikan;
b. tidak
menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.
Pasal 17
1. Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang
dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;
b. mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;
c. memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;
d. tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;
e. mengeksploitasi
kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang
bersangkutan;
f. melanggar
etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.
2. Pelaku usaha periklanan dilarang
melanjutkan peredaran iklan yang telah melanggar ketentuan pada ayat 1.
F. Tanggung Jawab Pelaku Usaha
1. Pelaku
usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran,
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti
rugi tersebut dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau
jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau
pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3. Pemberian
ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal
transaksi.
4. Pemberian
ganti rugi tersebut tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana
berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan
angka 1 dan 2 tersebut tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan
bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak
memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen
sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4),
dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke
badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. (pasal 23)
Pelaku usaha yang menjual barang dan/atau
jasa kepada pelaku usaha lain bertanggung jawab atas tuntutan ganti rugi
dan/atau gugatan konsumen apabila:
1. Pelaku
usaha lain menjual kepada konsumen tanpa melakukan perubahan apa pun atas
barang dan/atau jasa tersebut;
2. Pelaku
usaha lain, di dalam transaksi jual beli tidak mengetahui adanya perubahan
barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pelaku usaha atau tidak sesuai dengan
contoh, mutu, dan komposisi.
Pelaku usaha tersebut dibebaskan dari
tanggung jawab atas tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila
pelaku usaha lain yang membeli barang dan/atau jasa menjual kembali kepada
konsumen dengan melakukan perubahan atas barang dan/atau jasa tersebut. (pasal
24) Pelaku usaha yang memproduksi barang yang pemanfaatannya berkelanjutan
dalam batas waktu sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun wajib menyediakan suku
cadang dan/atau fasilitas purna jual dan wajib memenuhi jaminan atau garansi
sesuai dengan yang diperjanjikan. Pelaku usaha tersebut bertanggung jawab atas
tuntutan ganti rugi dan/atau gugatan konsumen apabila pelaku usaha tersebut
tidak menyediakan atau lalai menyediakan suku cadang dan/atau fasilitas
perbaikan; tidak memenuhi atau gagal memenuhi jaminan atau garansi yang
diperjanjikan. (pasal 25)
Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib
memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.
(pasal 26).
Pelaku usaha yang memproduksi barang
dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila
barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan
untuk diedarkan; cacat barang timbul pada kemudian hari; cacat timbul akibat
ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; kelalaian yang diakibatkan
oleh konsumen; lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang
dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. (pasal 27).
Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur
kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 19, pasal
22, dan pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha. (pasal 28).
G. Sanksi Bagi Pelaku Usaha
Sanksi Bagi Pelaku Usaha Menurut
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
Sanksi Perdata :
Ganti rugi dalam bentuk :
1. Pengembalian uang atau
1. Pengembalian uang atau
2. Penggantian barang atau
3. Perawatan kesehatan, dan/atau
4. Pemberian santunan
Ganti rugi diberikan dalam tenggang waktu 7 hari
setelah tanggal transaksi
Sanksi Administrasi :
maksimal Rp. 200.000.000 (dua ratus juta
rupiah), melalui BPSK jika melanggar Pasal 19 ayat (2) dan (3), 20, 25
Sanksi Pidana :
Kurungan :
1. Penjara, 5 tahun, atau denda Rp.
2.000.000.000 (dua milyar rupiah) (Pasal 8, 9, 10, 13 ayat (2), 15, 17 ayat (1)
huruf a, b, c, dan e dan Pasal 18
2. Penjara, 2 tahun, atau denda Rp.500.000.000
(lima ratus juta rupiah) (Pasal 11, 12, 13 ayat (1), 14, 16 dan 17 ayat (1)
huruf d dan f
BAB 13
Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
A. Pengertian
Pasar Monopoli adalah suatu bentuk pasar di
mana hanya terdapat satu penjual yang menguasai pasar. Penentu harga pada pasar
ini adalah seorang penjual atau sering disebut sebagai "monopolis".
Sebagai penentu harga (price-maker), seorang
monopolis dapat menaikan atau mengurangi harga dengan cara menentukan jumlah
barang yang akan diproduksi; semakin sedikit barang yang diproduksi, semakin
mahal harga barang tersebut, begitu pula sebaliknya. Walaupun demikian, penjual
juga memiliki suatu keterbatasan dalam penetapan harga. Apabila penetapan harga
terlalu mahal, maka orang akan menunda pembelian atau berusaha mencari atau
membuat barang subtitusi (pengganti) produk tersebut.
B. Asas dan Tujuan
Asas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan
kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan
keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.
Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah
Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar
kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi
dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha
adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.
C. Kegiatan yang Dilarang
Dalam UU No.5/1999,kegiatan yang dilarang
diatur dalam pasal 17 sampai dengan pasal 24. Undang undang ini tidak
memberikan defenisi kegiatan,seperti halnya perjanjian. Namun demikian, dari
kata “kegiatan” kita dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan kegiatan
disini adalah aktivitas,tindakan secara sepihak. Bila dalam perjanjian yang
dilarang merupakan perbuatan hukum dua pihak maka dalam kegiatan yang dilarang
adalah merupakan perbuatan hukum sepihak.
Adapun kegiatan kegiatan yang dilarang
tersebut yaitu :
1. Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau
pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha
atau satu kelompok pelaku usaha
2. Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu
pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar
yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok
pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.
3. Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan
yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak
sehat yaitu :
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha
tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku
usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya;
c. membatasi peredaran dan atau penjualan
barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d. melakukan praktik diskriminasi terhadap
pelaku usaha tertentu.
4. Persekongkolan
Adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh
pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar
bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8
UU No.5/1999).
5. Posisi Dominan
Artinya pengaruhnya sangat kuat, dalam Pasal
1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan
suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar
bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai
posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
kemampuan keuangan, kemampuan akses pada pasokan, penjualan, serta kemampuan
untuk menyesuaikan pasokan dan permintaan barang atau jasa tertentu.
6. Jabatan Rangkap
Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau
komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap
menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.
7. Pemilikan Saham
Berdasarkan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada
beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada
saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.
8. Penggabungan, peleburan, dan
pengambilalihan
Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999, mengatakan bahwa pelaku usaha yang berbadan hukum maupun yang bukan
berbadan hukum yang menjalankan perusahaan bersifat tetap dan terus menerus
dengan tujuan mencari keuntungan.
D. Perjanjian yang Dilarang
1. Oligopoli
Adalah keadaan pasar dengan produsen dan
pembeli barang hanya berjumlah sedikit, sehingga mereka atau seorang dari
mereka dapat mempengaruhi harga pasar.
2. Penetapan harga
Dalam rangka penetralisasi pasar, pelaku
usaha dilarang membuat perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga atas barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh
konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama ;
b. Perjanjian yang mengakibatkan pembeli yang
harus membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus dibayar oleh
pembeli lain untuk barang dan atau jasa yang sama ;
c. Perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya
untuk menetapkan harga di bawah harga pasar ;
d. Perjanjian dengan pelaku usaha lain yang
memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak menjual atau
memasok kembali barang dan atau jasa yang diterimanya dengan harga lebih rendah
daripada harga yang telah dijanjikan.
3. Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran
atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa.
4. Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang untuk membuat
perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang dapat menghalangi pelaku usaha
lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri
maupun pasar luar negeri.
5. Kartel
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha pesaingnya yang bermaksud untuk mempengaruhi harga dengan
mengatur produksi dan atau pemasaran suatu barang dan atau jasa.
6. Trust
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain untuk melakukan kerja sama dengan membentuk gabungan
perusahaan atau perseroan yang lebih besar, dengan tetap menjaga dan
mempertahankan kelangsungan hidup tiap-tiap perusahaan atau perseroan
anggotanya, yang bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas
barang dan atau jasa.
7. Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha
menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau
jasa dalam suatu pasar komoditas.
8. Integrasi vertikal
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah
produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa tertentu
yang mana setiap rangkaian produksi merupakan hasil pengelolaan atau proses
lanjutan baik dalam satu rangkaian langsung maupun tidak langsung.
9. Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima
barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan
atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10. Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian
dengan pihak luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
E. Hal-hal yang Dikecualikan
dalam UU Anti Monopoli
Hal-hal yang dilarang oleh Undang-Undang Anti
Monopoli adalah sebagai berikut :
1. Perjanjian-perjanjian tertentu yang
berdampak tidak baik untuk persaingan pasar, yang terdiri dari:
(a) Oligopoli
(b) Penetapan harga
(c) Pembagian wilayah
(d) Pemboikotan
(e) Kartel
(f) Trust
(g) Oligopsoni
(h) Integrasi vertikal
(i) Perjanjian tertutup
(j) Perjanjian dengan pihak luar negeri
2. Kegiatan-kegiatan tertentu yang berdampak
tidak baik untuk persaingan pasar,
yang meliputi kegiatan-kegiatan sebagai
berikut :
(a) Monopoli
(b) Monopsoni
(c) Penguasaan pasar
(d) Persekongkolan
3. Posisi dominan, yang meliputi :
(a) Pencegahan konsumen untuk memperoleh
barang atau jasa yang bersaing
(b) Pembatasan pasar dan pengembangan
teknologi
(c) Menghambat pesaing untuk bisa masuk pasar
(d) Jabatan rangkap
(e) Pemilikan saham
(f) Merger, akuisisi, konsolidasi
F. Komisi Pengawasan Persaingan
Usaha
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)
adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi
amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan
persaingan usaha tidak sehat.
G. Sanksi dalam Antimonopoli dan
Persaingan Usaha
Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu
wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil
penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli. Apa saja
yang termasuk dalam sanksi administratif diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) UU Anti
Monopoli. Meski KPPU hanya diberikan kewenangan menjatuhkan sanksi
administratif, UU Anti Monopoli juga mengatur mengenai sanksi pidana. Pasal 48
menyebutkan mengenai pidana pokok. Sementara pidana tambahan dijelaskan dalam
Pasal 49.
Pasal 48
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4,
Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25,
Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000
(dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000
(seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6
(enam) bulan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5
sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26
Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 (
lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima
miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima)
bulan.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41
Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu
miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah),
atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.
Pasal 49
Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48
dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha; atau
b. larangan kepada pelaku usaha yang telah
terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki
jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan
selama-lamanya 5 (lima) tahun; atau
c. penghentian kegiatan atau tindakan
tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain.
Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti
Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang
berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.
BAB 14
Penyelesaian Sengketa
Bentuk ADR/APS dalam Undang-Undang No.30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Tidak
dijabarkan lebih lanjut pengertian dari masing-masing bentuk ADR/APS tersebut
dalam UU No.30/1999. Adapun, arbitrase dikeluarkan dari lingkup ADR/APS dan
diberikan definisi tersendiri dalam UU No.30/1999 yakni “cara penyelesaian
suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.
A. Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang
bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga
sebagai penengah, sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan
mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa
tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya
informal, yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum saja.
Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu: (1) untuk
mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam
transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk
menentukan harga, dalam hal ini tidak terjadi sengketa; dan (2) untuk
memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak. Dengan
demikian, dalam negosiasi, penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh pihak
yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.
B. Mediasi
Pengertian mediasi adalah penyelesaian
sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator) yang netral/tidak memihak.
Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan
berupa alternatif-alternatif penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan
sendiri oleh pihak yang bersengketa. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun
2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai
cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Peran mediator membantu
para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa dengan cara tidak
memutus atau memaksakan pandangan atau penilaian atas masalah-masalah selama proses
mediasi berlangsung.
C. Arbitrase
Berbeda dengan bentuk ADR/APS lainnya,
arbitrase memiliki karakteristik yang hampir serupa dengan penyelesaian
sengketa adjudikatif. Sengketa dalam arbitrase diputus oleh arbiter atau
majelis arbiter yang mana putusan arbitrase tersebut bersifat final and
binding. Namun demikian, suatu putusan arbitrase baru dapat dilaksanakan
apabila putusan tersebut telah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (lihat Pasal 59
ayat (1) dan (4) UU No.30/1999). Dalam hal para pihak sepakat untuk
penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka sengketa tidak dapat diselesaikan
melalui pengadilan. (***)
D. Perbandingan antara
Perundingan, Arbitrase, dan Litigasi
Proses
|
Perundingan
|
Arbitrase
|
Litigasi
|
Yang mengatur
|
Para pihak
|
Arbiter
|
Hakim
|
Prosedur
|
Informal
|
Agak formal sesuai dengan rule
|
Sangat formal dan teknis
|
Jangka waktu
|
Segera ( 3-6 minggu )
|
Agak cepat ( 3-6 bulan )
|
Lama ( > 2 tahun )
|
Biaya
|
Murah ( low cost )
|
Terkadang sangat mahal
|
Sangat mahal
|
Aturan pembuktian
|
Tidak perlu
|
Agak informal
|
Sangat formal dan teknis
|
Publikasi
|
Konfidensial
|
Konfidensial
|
Terbuka untuk umum
|
Hubungan para pihak
|
Kooperatif
|
Antagonistis
|
Antagonistis
|
Fokus penyelesaian
|
For the future
|
Masa lalu
|
Masa lalu
|
Metode negosiasi
|
Kompromis
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Sama keras pada prinsip hukum
|
Komunikasi
|
Memperbaiki yang sudah lalu
|
Jalan buntu
|
Jalan buntu
|
Result
|
win-win
|
Win-lose
|
Win-lose
|
Pemenuhan
|
Sukarela
|
Selalu ditolak dan mengajukan oposisi
|
Ditolak dan mencari dalih
|
Suasana emosinal
|
Bebas emosi
|
Emosional
|
Emosi bergejolak
|
E. Ligitasi dan Arbitrasi
Ligitasi/Gugatan
Umumnya, pelaksanaan gugatan disebut
litigasi. Gugatan adalah suatu tindakan sipil yang dibawa di pengadilan hukum
di mana penggugat, pihak yang mengklaim telah mengalami kerugian sebagai akibat
dari tindakan terdakwa, menuntut upaya hukum atau adil. Terdakwa diperlukan
untuk menanggapi keluhan penggugat. Jika penggugat berhasil, penilaian akan
diberikan dalam mendukung penggugat, dan berbagai perintah pengadilan mungkin
dikeluarkan untuk menegakkan hak, kerusakan penghargaan, atau memberlakukan
perintah sementara atau permanen untuk mencegah atau memaksa tindakan. Orang
yang memiliki kecenderungan untuk litigasi daripada mencari solusi non-yudisial
yang disebut sadar hukum.
Arbitrase
Arbitrase adalah teknik hukum untuk
penyelesaian sengketa di luar pengadilan, di mana para pihak yang bersengketa
merujuk ke satu atau lebih orang, yang dengan keputusan mereka setuju untuk
terikat. Arbitrase dapat berupa sukarela atau wajib, dan dapat berupa mengikat
atau tidak mengikat. Secara teori, arbitrase adalah proses konsensual; Partai
tidak bisa dipaksa untuk menengahi sengketa kecuali dia setuju untuk
melakukannya. Dalam prakteknya, bagaimanapun, banyak perjanjian arbitrase
baik-print dimasukkan dalam situasi di mana konsumen dan karyawan tidak
memiliki daya tawar. Karena litigasi adalah suatu proses yang kompleks,
diperkirakan bahwa sekitar 98% dari kasus perdata di pengadilan federal Amerika
Serikat diselesaikan tanpa pengadilan.
Komentar
Posting Komentar